Selasa, 17 Juli 2012

Bermainlah Sehebat Tampangmu, Nick!


Seminggu terakhir ini, para wanita pencinta Manchester United mendapat idola baru dalam sosok Nick Powell. Bukan, yang pasti bukan karena kemampuannya dalam menggocek bola, karena namanya termasuk asing di telinga penggemar bola sebelum resmi dipinang Setan Merah dengan nilai transfer 6 juta Pounds.
Sesungguhnya alasan ini memalukan – setidaknya bagi saya, sebagai cewek murni penggemar olahraga kulit bundar ini – tetapi faktanya adalah opini ini sudah sangat melekat tercipta bagi kaum hawa.
Ya, karena tampang.
Sudah sangat umum terdengar bahwa alasan utama yang mendasari seorang wanita menyukai klub sepakbola tertentu adalah karena wajah dan perawakan aduhai para pesepakbola. Sungguh alasan yang mendiskreditkan.
Namun, kali ini, saya justru tertarik untuk membahas rekrutan anyar United dengan wajah dan fisik yang, oke, breathtaking.
Nick Powell, masih berumur 18 tahun! Saya pribadi baru mendengar namanya di akhir Juni, ketika diberitakan bahwa klub kesayangan saya ini mengejar seorang gelandang serang dari klub antah berantah, Crewe Alexandra. Saya kurang tertarik, karena media juga lebih menghebohkan isu transfer seorang mutiara Asia lainnya, Shinji Kagawa, yang menjalani dua musim sukses bersama Borussia Dortmund.
Lalu, Powell-pun resmi mendarat di Old Trafford pada tanggal 1 Juli 2012. Saya mulai googling tentang dirinya, well, maksud saya gambarnya. Foto yang saya temukan kurang jelas, jadi komen saya datar-datar aja: ohh.. dia. Terus? Kok mahal bener?
Jelas saya anggap Powell ‘mahal’. Jika dibandingkan dengan harga mantan gelandang kesayangan fans United asal Korea Selatan, Park Ji-sung, yang dihargai senilai 4 juta Pounds pada tahun 2005 silam. Apa nilai mata uang mempengaruhi tahun? Entahlah, saya bukan ahli ekonomi, enggan membahas.
Kemudian, pada tanggal 12 Juli 2012, Sir Alex Ferguson memperkenalan dua rekrutan barunya di bursa transfer musim panas ini, Kagawa dan Powell. Akhirnya, saya melihat wajah si berondong dengan jelas. Ganteng juga.

Tapi, kegilaan justru muncul tiga hari kemudian. Saat itu, saya melihat salah seorang teman saya retweet kicauan Powell (saya belum follow akun Twitter-nya saat itu). Isinya begini: And what… what’s wrong with my stallion corsa. Powell juga kasih pic sebuah artikel yang menulis nyeleneh tentang mobilnya yang ‘hanya’ sebuah Corsa, jika dibandingkan dengan para pemain United dengan mobil-mobil jauh lebih mahal seperti Bentley, Range Rover dan Lamborghini.
Ketika selesai membacanya, saya tertawa ngakak. Ini bocah humornya berkelas. Langsung deh saya follow dia. Humornya semakin saya anggap ‘dewa’ ketika keesokan harinya dia nge-tweet: No. Its them parking there Bentleys next to #stallioncorsa. Ini twit yang merespon kicauan dia sehari sebelumnya dan menanggapi isi artikel yang terkesan mengejeknya. Namun, dengan pede, Powell membalas dengan twit itu! :D
Ternyata bukan hanya saya yang mendadak menyukai pemilik no punggung 25 itu. Rekan-rekan saya di @indomanutd, juga ikutan menggila: mbakyu @rynagiggs, mba @shantyadhitya dan kak @lisadepe serta @cuzziiii. Bahkan mbakyu Ryna membuat nama untuk para ‘fans’ baru sang berondong, yaitu Powell Rangers!
Kami senang karena ada pemain tampan di United. Tapi, saya tidak mau hal ini malah menyudutkan kami sebagai penyuka sepakbola, yang murni bukan karena tampang pemain.
Jika dilihat dari video-video, kualitas pemain kelahiran 23 Maret 1994 itu cukup menjanjikan. Tapi, apalah arti sebuah video jika tidak dilihat kualitasnya secara langsung.
Menurut kacamata amatir saya, fisiknya yang tinggi besar akan bisa menolong tim ketika ada umpan-umpan lambung ataupun dalam merespon tendangan bebas maupun corner kick. Mumpung masih ada sosok Paul Scholes, Powell bisa minta tutor dari sang maestro lapangan tengah.
Mungkin musim depan Powell masih akan jarang diturunkan sebagai starter, mengingat United memiliki stok gelandang tipe menyerang di skuadnya. Namun, jika dia bisa memaksimalkan tur pra-musim ke Afrika Selatan dan Cina, bukan tidak mungkin kaum wanita bisa sering menikmati wajah (dan performa) apiknya musim 2012-13 nanti.

Powell masih muda, perjalanan kariernya masih sangat panjang. Besar harapan saya (dan para fans United pastinya) agar dia bisa beradaptasi dengan gaya permainan United dengan cepat. Kalau tampang aja nyaingin Beckham, tapi penampilan setara sama Bebe, yo buat apa?
Maka, bermainlah sehebat tampangmu, Nick!

Jumat, 13 Juli 2012

Impian Masa Kecil


#ngeblogramerame

Ketika seseorang masih kecil, pasti pernah punya impian kelak ingin menjadi seperti apakah dia. Demikian juga saya, yang pernah jadi anak kecil.. *ya iyalaahh.. :D
Sejak TK, otak gue dicekokin sama Mama supaya jadi dokter. Jadi tiap ditanya guru, pasti jawab kepengen jadi dokter. Dulu juga sempat punya mainan dokter-dokteran, kayak ada stetoskop, suntikan, dan lain-lain. Beneran dicuci otak :D
Gue pun tumbuh dengan keinginan yang timbul di dalam hati: harus jadi dokter. Walau ternyata sejak SD gue juga suka nulis karangan (dan pernah dibaca sama Mama dan Papa). Tapi, yah gak pernah punya pikiran cita-cita lain, selain dokter. SMP makin sering nulis, tapi tidak ngusik sedikitpun keinginan jadi dokter itu.
Dan keinginan itu sempat jadi ambisi sampai SMA, bahkan mati-matian usaha masuk jurusan IPA. Api impian dan harapan itu pun bertahan karena di kelas XI (kelas 2 SMA), gue terpilih masuk IPA. Bahkan nilai-nilai pelajaran yang sangat berhubungan dengan dunia kedokteran, yaitu Biologi dan Kimia, bagus-bagus. Ampe gue sendiri jadi kesayangan guru Biologi (Apa kabar, Bu Is?)
Tapi pas kelas XII (Kelas 3) SMA, gue pun memutuskan mengakhiri cita-cita itu, seiring masalah demi masalah yang datang ke keluarga gue. Sempet kurang fokus untuk belajar.
Kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Sumatera Utara, gue pun mulai berpikir cita-cita lebih serius. Lalu gue sempet teringat bakat gue yang sempet terpendam, yaitu menulis. Pas kelas 3 SMA, gue memang sempat berhenti menulis total. Lalu, kemudian gue menyadari sangat menyukai bola. Kenapa gak keduanya gue asah dan menjadi sebuah pekerjaan impian?
Jadilah impian masa kuliah gue berubah: jurnalis sepakbola (dan novelis).
Tuhan baik. Baik banget. Sekarang gue bisa melihat, ternyata kegagalan itu bukan untuk ditangisi atau disesali, tetapi mengetahui rencana apa yang sesungguhnya telah Tuhan buat untuk diri kita. Jadi dokter sudah pasti bukan jadi rencana-Nya.
Setahun lebih dikit dari resminya gue bergelar S.S (Sarjana Sastra) pada akhir April 2011 lalu, gue pun diizinkan Tuhan mendapat impian gue: as a football journalist.
Jadi impian kelar? Belum donk. Pelan-pelan gue tetap kudu banyak belajar, karena selama hidup, manusia pasti harus terus belajar, baik pembelajaran secara akademik maupun dari pengalaman hidup. Lagipula, jika impian dan harapan sudah tidak ada, apa bisa seseorang hidup?
Secara akademik, gue masih terus belajar tentang dunia sepakbola dan tulis menulis. Dan semoga suatu hari nanti, gue dapat kesempatan untuk meliput ajang sepakbola secara langsung, bertemu dengan pemain sepak bola.
Itu impian gue; itulah hidup gue…

Jumat, 06 Juli 2012

Dear Mama


#ngeblogramerame

Dear Mama,
Essy masih ingat sangat jelas ketika Mama cerita proses kelahiran Essy. Mama bilang kalau melahirkan Essy penuh perjuangan karena badan Essy terlalu besar di kandungan Mama (ternyata bodi besar yang Essy miliki saat ini emang udah bibit ya, Mah? :D). Mama bilang dokter sangat menyarankan untuk lahir secara caesar karena jika dipaksakan lahir normal, Mama bisa kehilangan nyawa. Tapi Mama bertekad untuk melahirkan Essy dengan normal, karena saat itu Mama pernah dengar mitos bahwa anak yang lahir caesar pas sudah besar nanti ada aja ‘cacat’ yang dimiliki. Hehehe.. mamah… :)
Dan ketika Essy lahir, masih juga ada perdebatan mengenai tanggal lahir Essy. Papa dulu pernah bilang Essy lahir tanggal 27 Mei 1989, tetapi Mama ngotot bahwa Essy lahir tanggal 28 Mei 1989  tepat jam 00.05, karena setelah Essy keluar dari rahim Mama, Mama langsung melihat ke jam dinding. Essy gak habis pikir, ketika masih sangat kesakitan, Mama sempet-sempetnya merhatiin jam, merhatiin kapan anak pertama Mama muncul ke dunia.. :)
Masa batita, balita, anak-anak.. yang Essy ingat bagaimana Mama kelewat galak dan bagaimana Essy kelewat manja. Essy masih sangat ingat setiap minggunya Mama selalu ngajak ke Mal. Sifat hedon yang sempat Essy rasakan ketika kita tidak tahu bagaimana cara bersenang-senang dengan uang yang terlalu banyak ya, Mah :D
Meski dulu kita kaya banget, Mama gak pernah ngajarin Essy untuk bisa mendapatkan segala yang Essy inginkan. Masih inget, ketika Essy meminta dibelikan sesuatu, Mama gak mau, lalu Essy nangis sesenggukan, yang kemudian pasti Mama akhiri dengan ancaman akan ditinggalkan. Hehehe… kalau udah kayak gitu, Essy lari ke Papa, minta Papa yang beliin. Kalo Papa nurutin, Mama deh yang ngamuk. :D
Kemudian, tsunami datang ke keluarga kita. Essy gak ngerti saat itu, masih umur 7 tahun kan, Mah? Tiba-tiba saja Essy sudah berada di rumah yang jauh lebih kecil, Essy tidak lagi sekolah di SD Essy yang bertingkat 6 itu, pindah ke sekolah negeri.
Dan Essy juga tidak mengerti mengapa Papa tidak ada bersama kita – bersama Mama, Essy dan adek yang masih berumur 2 tahun.


Tapi, tahukah Mama, di umur segitu Essy udah belajar terhadap situasi yang tengah kita hadapi. Dan Essy tidak manja lagi, menginginkan hal-hal yang tidak penting.
Melihat Mama bekerja begitu keras untuk Essy dan adek, pergi pagi pulang malam, menitipkan kami kepada tetangga atau saudara, mengajarkan Essy bagaimana cara menggoreng tempe.
Mama ingat gak, ketika Essy – dan adek, mengunjungi tempat Mama bekerja, jauh-jauh dari Bekasi ke Kampung Melayu, karena adek nangis terus. Dengan duit paspasan, Essy inget bawa adek naik angkot tiga kali. Untung banget Mah, banyak penumpang yang kami temui baik sekali, membayar ongkos kami. Semoga mereka diberkati selalu :)
Lalu, ketika kami sampai di terminal Kampung Melayu, melihat Mama dengan usaha yang Mama jalani – dagang asongan bermodalkan etalase kecil. Essy gak memikirkan apapun selain bahagia bisa melihat Mama.
Yang baru Essy ketahui saat itu, ternyata Mama juga jadi supir mikrolet. Wah, Essy malah girang saat itu, yak an Mah? Mama yang nyupir, Essy yang jadi kernet. What a moment, Mom :)
Pasang-surut di keluarga kita terus aja terjadi. Kita sempat berkumpul lagi dengan Papa, namun tetap pada akhirnya jalan perceraian yang Mama dan Papa ambil.
Mama ingat gak, Essy pernah bertanya apakah Mama menyesal menikah dengan Papa? Mama tidak pernah tahu betapa leganya Essy ketika Mama jawab: tidak, Nak. Kalau tidak bertemu Papamu, ya gak mungkin Mama punya anak seperti kalian.
Pernah Essy merasa ingin Mama bertanya balik, apakah Essy menyesali perceraian kalian? Well, Essy gak nyesel, Ma. Yang Essy sesali adalah setiap pertengkaran yang Mama dan Papa lakukan, kenapa harus di hadapan kami. Akan jauh lebih baik jika kami – Essy – tidak mendengar ataupun melihat rentetan kejadian yang jika melintas di pikiran Essy, hanya mampu membuahkan air mata. Lagi.
Ketika Mama meninggalkan kami, well, berat lho, Mah. Tapi Essy gak pernah izinin Mama tahu hal itu, karena saat itu Essy udah tumbuh cukup dewasa untuk sangat memahami perjuangan yang tengah Mama lakukan.
Ketika kita bersatu lagi – Mama, Essy dan adek – Mama menunjukkan banyak perubahan. Pekerjaan yang sukses Mama jalani, dan yang terpenting tidak ada rasa tertekan seperti ketika Mama masih bersama Papa. Salah satu hal yang membuat Essy bersyukur kalian tidak bersatu lagi.
Ketika Essy kuliah, Essy melihat bagaimana perjuangan Mama demi Essy menjadi sarjana. Kembali, Mama bekerja tanpa kenal waktu dan menyuruh Essy memfokuskan diri sama kuliah.
Tapi, saat itu juga Essy merasa bersyukur memiliki Mama. Dari dulu, Mama selalu berjuang demi pendidikan anak-anaknya. Bagi Mama, ‘upah’ dari kami adalah prestasi yang bagus. Puji Tuhan, kami tidak pernah mengecewakan Mama.
Mama masih ingat, ketika Essy menelepon Mama bahwa Essy sudah lulus sidang. Mama menangis sejadi-jadinya dan kemudian heboh ke Medan, cuma untuk berbelanja keperluan wisuda, di mana Mama heboh mewajibkan Essy memakai kebaya hasil jahitan, bukan disewa. Ampun deh..
Dan ketika Essy memakai toga, Mama menangis lagi.



Setahun sudah Essy lulus, namun Essy belum bisa berikan kebahagiaan sepenuhnya untuk Mama. Bahkan permintaan Mama yang belakangan paling gencar, yaitu PACAR, aja belum Essy penuhi. Maaf ya, Mah..
Di luar segala permasalahan yang kita hadapi, Essy sangat beruntung memiliki sosok seperti Mama, yang tidak pernah menyerah atas kami. Mungkin orangtua lain banyak yang terjerumus dan menyesatkan anaknya sendiri, tapi Mama tidak.
Dear Mama.. terima kasih karena Mama selalu percaya dengan setiap langkah yang Essy ambil. Bagaimana Mama mengizinkan Essy untuk bergabung di komunitas bola (IndoManUtd), di mana sempat Essy digosipin menjadi anak liar, tapi Mama tidak pernah percaya. Karena Mama pernah berpesan: Lakukan segala hal yang pengin kau lakukan, tetapi ingat satu hal. Jangan pernah mempermalukan Mama. Essy inget selalu, Mah. Makanya jalan Essy lurus-lurus aja :D
Mama selalu mendukung setiap keputusan yang Essy ambil. Jarang ada orangtua yang bersedia membebaskan anaknya menentukan arah hidupnya, Mama berbeda. Karena pasti Mama menyadari bahwa setiap langkah yang Essy ambil semua bertujuan untuk membuat Mama bangga.
Doain Essy selalu ya, Mah. Dan semoga Tuhan memberikan Mama umur yang panjang, karena bagaimanapun juga, Essy berhutang untuk kenalin Mama ke calon suami Essy, yang berarti… masih lama, Maaahhh…. Hihihihi…