Well, the fact is I’m
not as strong as I thought.
Aku
baru saja masuk ke kelasku yang masih kosong. Kepagian. Duduk, kupandangi seisi
kelasku yang baru dua bulan kutempati ini. Karena belum ada yang datang,
dinginnya AC kelasku begitu terasa. Kalau penuh sih jangan harap. Yang ada aku
pasti ambil buku yang tipis, lalu mengipas-ngipas mencari udara segar.
Kepanasan.
Kuambil
buku tugas matematika-ku. Ya memang, sengaja aku datang cepat karena PR-ku
belum selesai. Aku menghela napas panjang. Mau dibaca berkali-kali materi logaritma
ini, tetap aku gak mampu jawab soal-soalnya yang cuma sebanyak 5 soal.
Aku
mendengus keras, frustasi. Kuputuskan untuk mengerjakan sebisaku saja. Hasil
akhir? Bodo amat! At least I do it by
myself.
Semangat
belajarku memang turun drastis sejak Mama pergi. Sulit sekali bagiku untuk
menyemangati diri untuk fokus ke pelajaran di sekolah. Setahun berlalu setelah
Mama pergi pun aku masih belum mampu kembali ke diriku yang dulu, Alexa si
ranking satu.
Efek
menurunnya semangat belajar ini sudah terlihat beberapa bulan yang lalu ketika
aku lulus SMP dengan nilai paspasan. Saat itu Papa memarahiku, meluapkan rasa
kecewanya yang hanya mampu kubalas dengan tundukkan kepala, tidak berani
menatapnya.
Masuk
SMA aku dihadapkan pada kenyataan bahwa teman-teman baruku begitu berbeda
dengan teman-teman SMP. Aroma persaingan untuk menjadi yang terbaik begitu
terasa di kelas ini. Bahkan untuk bertanya hal yang tidak kumengerti aja tak
seorangpun yang mau menjelaskan. Mereka semua sibuk dengan urusannya
masing-masing. Yang pintar berteman dengan yang pintar lainnya. Yang sadar
kurang pintar biasanya hanya mampu mengerubuni para murid pintar saat
berdiskusi, ikutan curi dengar, berharap kecipratan sedikit ilmu mereka.
Konyolnya,
aku yang sekarang masuk kategori nomor dua, untuk mencuri dengar saja tidak
bisa kulakukan. Sudah turun semangat belajar ditambah lagi dengan hilangnya
kemampuan bersosialisasi. Kebodohan yang sempurna.
Baru
kusadari kalo kelas udah ramai. Dan otak sialku ini juga belum mampu
menyelesaikan soal-soal matematika ini. Kututup buka, merutuk kesal di dalam
hati. Bodo amat, dikumpul sejadinya aja.
Bel
masuk berbunyi. Bu Diana, guru matematika yang selalu on-time, memasuki kelas. Ibu ini masih terlihat cantik di usianya
yang tidak muda. Wajahnya memancarkan ketegasan. Dibilang guru killer sih tidak juga karena beliau
begitu akrab dengan murid-muridnya, namun memang terkenal “sadis” dalam
mengajar, misalnya suka memberi banyak tugas dan tidak segan-segan menghukum
murid yang ketahuan nyontek saat ujian. Sudah terkenal seantero sekolah kalau
dua tahun yang lalu, ada murid yang nekad buat contekan matematika. Ketika dia
tertangkap basah oleh Bu Diana, beliau tidak segan-segan merobek kertas
ulangannya dan kemudian menggagalkan ujian murid tersebut. Walhasil, murid itu
tinggal kelas dan akhirnya memilih untuk pindah sekolah. Sejak saat itu, tidak
ada yang berani, walaupun hanya berpikir, untuk nyontek.
“Pagi,
class! How are you?” serunya tersenyum lebar.
“Baik
buuuu...” kelasku begitu riuh tertawa, membalas sapaannya.
“Oke.
Sebelum ibu cek PR kalian, Ibu mau membagikan hasil ulangan harian minggu lalu.
Bagus-bagus nilai kalian, senang saya. Terutama yang namanya... hmmm...” Bu
Diana terlihat sibuk dengan lembaran kertas jawaban kami. “Oh iya, terutama si
Mya Alexa Siagian. Yang mana anaknya?”
Aku
terperanjat dari kursiku, tidak percaya namaku disebut. Aku mengangkat
tanganku. “Saya, Bu.”
“Oh
kamu. Maju ke depan.”
Teman-teman
sekelas kompak menyerukan “Cieeeee...” saat aku melangkah mendekati meja guru.
Aku membalas mereka dengan raut wajah datar karena masih tidak percaya
mengingat... yah mengingat...
“Hebat
kamu ya, Mya,” senyum Bu Diana masih terpampang di wajahnya, namun terasa agak
sinis menurutku. “Kalian tahu kenapa saya bilang Mya hebat? Karena dari 10 soal
yang saya kasih, dia bisa dapat nilah setengah. Bukan setengah dari 10 yaitu 5,
tapi setengah. Nol koma lima!”
Kelas
hening seketika. Aku merasakan wajahku pucat. Aku menunduk, tidak berani
menatap wajahnya.
“Hei
Mya, lihat saya.” Aku menatapnya, setengah menunduk. “Kamu ngapain aja di
rumah? Asal kamu tahu, ya, rapat guru dan orangtua seminggu sebelum ulangan
harian yang lalu, Papa kamu luar biasa memuji-muji kamu. Anak saya cantik dan
pintar. Papa kamu malah menyarankan kami para guru untuk menaikkan standar
nilai di sekolah ini supaya murid-murid bisa terpacu belajarnya. Eh, standar
nilai tidak dinaikkan saja anaknya gagal begini, bagaimana jika kami naikkan?
Cantik iya, tapi kalau tidak berotak apa gunanya.”
Bu
Diana berkata pada intonasi yang biasa saja, tapi itu sudah lebih dari cukup
menusuk. Aku sangat malu. Tidak pernah aku tau kalo rapat guru dan orangtua
yang lalu Papa berbicara seperti itu.
Dua
jam durasi pelajaran matematika ini dihabiskan Bu Diana untuk mengomentari
rapat yang lalu, menyindirku habis-habisan di depan kelas walaupun terkadang
dia juga menimpali dengan lelucon khasnya. Namun itu tetap tidak merubah
keadaan kalo aku sangat malu.
Selesai
pelajaran matematika, aku sadar penilaian teman-teman sekelasku tentang aku
menjadi buruk, atau mungkin semakin buruk. Ya Tuhan...
Jam
istirahat tiba, aku langsung pergi ke kantin. Setelah makan, aku membeli
beberapa cemilan untuk dimakan di dalam kelas saat pelajaran biologi nanti. Aku
tau, makan di kelas bisa kena hukuman. Tapi aku gak peduli. Makanan adalah obat
stresku. Kalo udah pusing seperti ini, aku melampiaskan dengan mengemil. Sudah
lebih dari setahun kulakukan, dan terbukti aku mampu mengatasi stres tersebut
walopun efek sampingnya adalah berat badanku naik drastis.
Bu
Tari, guru biologi, masuk ke kelas ketika aku masih sibuk dengan cemilanku,
bahkan masih ada sisa setengah. Buru-buru kumasukkan ke laci meja karena masih
berniat memakannya, tanpa sepengetahuan Bu Tari pastinya.
Bu
Tari sedang menjelaskan sel-sel pada tumbuhan. Aku mendengarkan penjelasannya,
menulis sambil sesekali mengambil keripik singkong dari laci meja dan
memakannya perlahan.
“Kamu,
yang di belakang sana!”
Jantungku
berdetak cepat. Kuangkat kepalaku, menoleh ke arahnya. Benar, Bu Tari sedang
mengarahkan telunjuknya padaku dari depan kelas.
“Bawa
makanan kamu segera ke depan dan letakkan di meja saya!”
Kurasakan
keringat dingin muncul di telapak tanganku saat aku mengambil bungkusan cemilan
dari laci meja. perlahan aku bangkit dari kursi, berjalan ke depan kelas dan
meletakkan cemilanku tersebut sesuai perintahnya. Aku berdiri mematung di depan
kelas (lagi).
“Kamu
kira saya tidak melihat apa yang murid-murid saya lakukan? Kamu kira saya tidak
melihat apa yang KAMU lakukan? Baru masuk dua bulan kok udah betingkah.
Seharusnya kamu saya laporkan ke BP, tapi kali ini saya maafkan. Sekali lagi
kamu berani makan saat pelajaran saya, saya akan laporkan kamu ke BP atau saya
sendiri yang melarang kamu masuk di kelas saya. Mengerti??!”
Aku
hanya bisa mengangguk perlahan.
“Sudah,
kembali ke tempat duduk. Heran, baru selesai istirahat masih juga berani
mengunyah di kelas.”
Aku
mengambil buku biologi kemudian menundukkan kepala. Bukan untuk serius membaca
tentang sel-sel pada tumbuhan tersebut, melainkan berusaha untuk tidak
menangis.
***
Tidak
ada seorangpun di rumah ketika aku pulang. Ada pesan ditulis di kertas
diletakkan di atas meja di ruang tamu. Tulisan Fay yang bilang bahwa dia sedang
bermain di rumah sepupuku, Agatha. Adik Agatha, Sachi, seumuran dengan Fay sehingga
Fay senang bermain di rumah mereka sejak perginya Mama.
Aku
terduduk di tempat tidurku. Pikiranku sibuk dengan nilai matematika yang
nol-koma-lima itu, sindiran-sindiran sampai segala omelan yang kuterima tadi. Gosh, sekalipun aku tidak pernah dapat
nilai seburuk itu. Bahkan sekalipun aku tidak pernah ditegur guru sebelumnya.
Selama ini aku adalah murid kesayangan guru-guru. Dan hari ini aku malah
bermasalah dengan dua guru sekaligus.
Kuhapus
air mata yang sudah bercucuran, lalu pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba teringat
bahwa hari ini harus mencuci dan masak untuk makan malam. Kepalaku berdenyut
tidak karuan. Aku berlari kembali ke kamar, mengambil bantal, membantingnya.
Lagi dan lagi.
Aku
menangis histeris. “Tuhan, aku gak sanggup. Ya Tuhaaannn... aku enggak sanggup!
Kenapa harus aku, Tuhan? KENAPA HARUS AKU??!”
Tempat
tidur sudah sangat berantakan, namun aku tidak peduli. Aku terduduk di lantai
ketika akhirnya merasa lelah untuk membanting. “Tuhan, aku harus gimana? Aku
udah capek, Tuhan. Gak mau lagiiii... udah enggak sanggup...”
Aku
tesentak diam, bangkit dan berjalan sempoyongan ke dapur. Ragu-ragu, kuambil
pisau.
Aku
hanya mengingat darah mengucur dari pergelangan tanganku sebelum semua menjadi
gelap.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar