Senin, 11 Juni 2012

PRESENT - EMPAT


Well, the fact is I’m not as strong as I thought.
Aku baru saja masuk ke kelasku yang masih kosong. Kepagian. Duduk, kupandangi seisi kelasku yang baru dua bulan kutempati ini. Karena belum ada yang datang, dinginnya AC kelasku begitu terasa. Kalau penuh sih jangan harap. Yang ada aku pasti ambil buku yang tipis, lalu mengipas-ngipas mencari udara segar. Kepanasan.
Kuambil buku tugas matematika-ku. Ya memang, sengaja aku datang cepat karena PR-ku belum selesai. Aku menghela napas panjang. Mau dibaca berkali-kali materi logaritma ini, tetap aku gak mampu jawab soal-soalnya yang cuma sebanyak 5 soal.
Aku mendengus keras, frustasi. Kuputuskan untuk mengerjakan sebisaku saja. Hasil akhir? Bodo amat! At least I do it by myself.
Semangat belajarku memang turun drastis sejak Mama pergi. Sulit sekali bagiku untuk menyemangati diri untuk fokus ke pelajaran di sekolah. Setahun berlalu setelah Mama pergi pun aku masih belum mampu kembali ke diriku yang dulu, Alexa si ranking satu.
Efek menurunnya semangat belajar ini sudah terlihat beberapa bulan yang lalu ketika aku lulus SMP dengan nilai paspasan. Saat itu Papa memarahiku, meluapkan rasa kecewanya yang hanya mampu kubalas dengan tundukkan kepala, tidak berani menatapnya.
Masuk SMA aku dihadapkan pada kenyataan bahwa teman-teman baruku begitu berbeda dengan teman-teman SMP. Aroma persaingan untuk menjadi yang terbaik begitu terasa di kelas ini. Bahkan untuk bertanya hal yang tidak kumengerti aja tak seorangpun yang mau menjelaskan. Mereka semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang pintar berteman dengan yang pintar lainnya. Yang sadar kurang pintar biasanya hanya mampu mengerubuni para murid pintar saat berdiskusi, ikutan curi dengar, berharap kecipratan sedikit ilmu mereka.
Konyolnya, aku yang sekarang masuk kategori nomor dua, untuk mencuri dengar saja tidak bisa kulakukan. Sudah turun semangat belajar ditambah lagi dengan hilangnya kemampuan bersosialisasi. Kebodohan yang sempurna.
Baru kusadari kalo kelas udah ramai. Dan otak sialku ini juga belum mampu menyelesaikan soal-soal matematika ini. Kututup buka, merutuk kesal di dalam hati. Bodo amat, dikumpul sejadinya aja.
Bel masuk berbunyi. Bu Diana, guru matematika yang selalu on-time, memasuki kelas. Ibu ini masih terlihat cantik di usianya yang tidak muda. Wajahnya memancarkan ketegasan. Dibilang guru killer sih tidak juga karena beliau begitu akrab dengan murid-muridnya, namun memang terkenal “sadis” dalam mengajar, misalnya suka memberi banyak tugas dan tidak segan-segan menghukum murid yang ketahuan nyontek saat ujian. Sudah terkenal seantero sekolah kalau dua tahun yang lalu, ada murid yang nekad buat contekan matematika. Ketika dia tertangkap basah oleh Bu Diana, beliau tidak segan-segan merobek kertas ulangannya dan kemudian menggagalkan ujian murid tersebut. Walhasil, murid itu tinggal kelas dan akhirnya memilih untuk pindah sekolah. Sejak saat itu, tidak ada yang berani, walaupun hanya berpikir, untuk nyontek.
“Pagi, class! How are you?” serunya tersenyum lebar.
“Baik buuuu...” kelasku begitu riuh tertawa, membalas sapaannya.
“Oke. Sebelum ibu cek PR kalian, Ibu mau membagikan hasil ulangan harian minggu lalu. Bagus-bagus nilai kalian, senang saya. Terutama yang namanya... hmmm...” Bu Diana terlihat sibuk dengan lembaran kertas jawaban kami. “Oh iya, terutama si Mya Alexa Siagian. Yang mana anaknya?”
Aku terperanjat dari kursiku, tidak percaya namaku disebut. Aku mengangkat tanganku. “Saya, Bu.”
“Oh kamu. Maju ke depan.”
Teman-teman sekelas kompak menyerukan “Cieeeee...” saat aku melangkah mendekati meja guru. Aku membalas mereka dengan raut wajah datar karena masih tidak percaya mengingat... yah mengingat...
“Hebat kamu ya, Mya,” senyum Bu Diana masih terpampang di wajahnya, namun terasa agak sinis menurutku. “Kalian tahu kenapa saya bilang Mya hebat? Karena dari 10 soal yang saya kasih, dia bisa dapat nilah setengah. Bukan setengah dari 10 yaitu 5, tapi setengah. Nol koma lima!”
Kelas hening seketika. Aku merasakan wajahku pucat. Aku menunduk, tidak berani menatap wajahnya.
“Hei Mya, lihat saya.” Aku menatapnya, setengah menunduk. “Kamu ngapain aja di rumah? Asal kamu tahu, ya, rapat guru dan orangtua seminggu sebelum ulangan harian yang lalu, Papa kamu luar biasa memuji-muji kamu. Anak saya cantik dan pintar. Papa kamu malah menyarankan kami para guru untuk menaikkan standar nilai di sekolah ini supaya murid-murid bisa terpacu belajarnya. Eh, standar nilai tidak dinaikkan saja anaknya gagal begini, bagaimana jika kami naikkan? Cantik iya, tapi kalau tidak berotak apa gunanya.”
Bu Diana berkata pada intonasi yang biasa saja, tapi itu sudah lebih dari cukup menusuk. Aku sangat malu. Tidak pernah aku tau kalo rapat guru dan orangtua yang lalu Papa berbicara seperti itu.
Dua jam durasi pelajaran matematika ini dihabiskan Bu Diana untuk mengomentari rapat yang lalu, menyindirku habis-habisan di depan kelas walaupun terkadang dia juga menimpali dengan lelucon khasnya. Namun itu tetap tidak merubah keadaan kalo aku sangat malu.
Selesai pelajaran matematika, aku sadar penilaian teman-teman sekelasku tentang aku menjadi buruk, atau mungkin semakin buruk. Ya Tuhan...
Jam istirahat tiba, aku langsung pergi ke kantin. Setelah makan, aku membeli beberapa cemilan untuk dimakan di dalam kelas saat pelajaran biologi nanti. Aku tau, makan di kelas bisa kena hukuman. Tapi aku gak peduli. Makanan adalah obat stresku. Kalo udah pusing seperti ini, aku melampiaskan dengan mengemil. Sudah lebih dari setahun kulakukan, dan terbukti aku mampu mengatasi stres tersebut walopun efek sampingnya adalah berat badanku naik drastis.
Bu Tari, guru biologi, masuk ke kelas ketika aku masih sibuk dengan cemilanku, bahkan masih ada sisa setengah. Buru-buru kumasukkan ke laci meja karena masih berniat memakannya, tanpa sepengetahuan Bu Tari pastinya.
Bu Tari sedang menjelaskan sel-sel pada tumbuhan. Aku mendengarkan penjelasannya, menulis sambil sesekali mengambil keripik singkong dari laci meja dan memakannya perlahan.
“Kamu, yang di belakang sana!”
Jantungku berdetak cepat. Kuangkat kepalaku, menoleh ke arahnya. Benar, Bu Tari sedang mengarahkan telunjuknya padaku dari depan kelas.
“Bawa makanan kamu segera ke depan dan letakkan di meja saya!”
Kurasakan keringat dingin muncul di telapak tanganku saat aku mengambil bungkusan cemilan dari laci meja. perlahan aku bangkit dari kursi, berjalan ke depan kelas dan meletakkan cemilanku tersebut sesuai perintahnya. Aku berdiri mematung di depan kelas (lagi).
“Kamu kira saya tidak melihat apa yang murid-murid saya lakukan? Kamu kira saya tidak melihat apa yang KAMU lakukan? Baru masuk dua bulan kok udah betingkah. Seharusnya kamu saya laporkan ke BP, tapi kali ini saya maafkan. Sekali lagi kamu berani makan saat pelajaran saya, saya akan laporkan kamu ke BP atau saya sendiri yang melarang kamu masuk di kelas saya. Mengerti??!”
Aku hanya bisa mengangguk perlahan.
“Sudah, kembali ke tempat duduk. Heran, baru selesai istirahat masih juga berani mengunyah di kelas.”
Aku mengambil buku biologi kemudian menundukkan kepala. Bukan untuk serius membaca tentang sel-sel pada tumbuhan tersebut, melainkan berusaha untuk tidak menangis.
***
Tidak ada seorangpun di rumah ketika aku pulang. Ada pesan ditulis di kertas diletakkan di atas meja di ruang tamu. Tulisan Fay yang bilang bahwa dia sedang bermain di rumah sepupuku, Agatha. Adik Agatha, Sachi, seumuran dengan Fay sehingga Fay senang bermain di rumah mereka sejak perginya Mama.
Aku terduduk di tempat tidurku. Pikiranku sibuk dengan nilai matematika yang nol-koma-lima itu, sindiran-sindiran sampai segala omelan yang kuterima tadi. Gosh, sekalipun aku tidak pernah dapat nilai seburuk itu. Bahkan sekalipun aku tidak pernah ditegur guru sebelumnya. Selama ini aku adalah murid kesayangan guru-guru. Dan hari ini aku malah bermasalah dengan dua guru sekaligus.
Kuhapus air mata yang sudah bercucuran, lalu pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba teringat bahwa hari ini harus mencuci dan masak untuk makan malam. Kepalaku berdenyut tidak karuan. Aku berlari kembali ke kamar, mengambil bantal, membantingnya. Lagi dan lagi.
Aku menangis histeris. “Tuhan, aku gak sanggup. Ya Tuhaaannn... aku enggak sanggup! Kenapa harus aku, Tuhan? KENAPA HARUS AKU??!”
Tempat tidur sudah sangat berantakan, namun aku tidak peduli. Aku terduduk di lantai ketika akhirnya merasa lelah untuk membanting. “Tuhan, aku harus gimana? Aku udah capek, Tuhan. Gak mau lagiiii... udah enggak sanggup...”
Aku tesentak diam, bangkit dan berjalan sempoyongan ke dapur. Ragu-ragu, kuambil pisau.
Aku hanya mengingat darah mengucur dari pergelangan tanganku sebelum semua menjadi gelap.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar