“Hey,
Lexa. Lo mau langsung pulang? Jalan bentar yuk?”
“Tau
nih Lexa. Buru-buru amat. Jarang-jarang loh kita dipulangin cepat begini.”
Aku
berpikir sejenak, kemudian mengangguk, tersenyum lebar kepada mereka. Sekolah
memulangkan kami lebih cepat daripada biasanya karena guru-guru akan mengadakan
rapat untuk membuat soal-soal tryout
UAN untuk kelas 3. Yang berarti soal-soal untuk aku juga.
Ya.
Aku sudah duduk di kelas 3 sekarang. Bertambah aja deh beban pikiran ini,
karena aku kudu, wajib lulus SMP.
Hehehe...
Terkesan aku begitu serius banget menghadapi hari-hari terakhirku sebagai anak
berseragam putih-biru. Tidak kok. Aku justru menjalaninya dengan santai.
Seperti saat ini, aku justru pergi jalan-jalan ke pasar tradisional dengan
beberapa teman sekelasku. Padahal UAN tinggal tiga bulan lagi loh.
Hmm..
tidak juga sih. Aku berbohong sedikit. Aku tidak benar-benar menjalani ini
dengan santai. Tapi aku mencoba
membuat diriku santai menjalani kehidupanku sekarang. Ketiadaan Mama sejak
berbulan-bulan yang lalu begitu mempengaruhiku. Bagaimanapun juga aku harus
menggantikan pekerjaannya selama masih bersama kami: memasak, belanja bulanan,
dan lain-lain. Bahkan aku juga yang harus menggantikannya mengambil raport
adikku.
Tapi
satu hal yang sedikitpun tidak bisa kulakukan adalah menggantikannya untuk
memberikan kasih sayang buat Fay. Untuk sekedar bertanya, “Bagaimana sekolahmu
hari ini?” itu saja sulit sekali, karena aku sendiri pusing dengan hari-hari ku
di sekolah. Bahkan terkadang kalau Fay meminta bantuanku tentang PR-nya, aku
malah bersikap ketus dan menyuruhkannya mengerjakan sendiri.
Mungkin
aku bukan kakak yang baik. Aku pasti
bukan kakak yang baik. Tapi aku tetap berharap adikku bisa tumbuh dengan
normal.
Dan
aku masih berharap Mama pulang. Aku sendiri sangat membutuhkan sosoknya dalam
hidupku. Bayangkan ketika aku mendapatkan untuk pertama kalinya anugerah
sebagai seorang keturunan Hawa, aku syok sendiri. Bingung bertanya kepada siapa
bagaimana memasang pembalut.
Oke.
Bukan bermaksud menyederhanakan peran Mama dalam hidupku. Aku hanya memberi
contoh sederhana saja. Aku benar-benar kosong tanpa dirinya. Selalu ingin
menangis ketika melihat ibu-ibu menggandeng anaknya di Mall, tertawa
bersama-sama.
Tuhan, kapan aku bisa
merasakan itu lagi...
***
“Lexa,
soal nomor ini gimana sih caranya?”
Melly,
teman sebangkuku, menyodorkan buku cetak matematika sambil duduk lebih rapat ke
arahku. Aku membacanya sejenak, kemudian menyoret-nyoret jawabannya di selembar
kertas kosong yang diberikan Melly.
UAN
sebentar lagi, tepatnya bulan depan. Teman-teman sekelasku terlihat semakin
hari semakin tambah paniknya. Apalagi ketika nilai-nilai tryout keluar. Baik yang puas maupun yang tidak puas dengan
nila-nilai tersebut, semakin terpacu buat belajar dan bertanya kepada temannya
yang lebih pintar. Misalnya aku, si ranking 1.
Bel
tanda istirahat berbunyi nyaring. Beberapa dari teman sekelasku langsung
berhamburan ke kantin. Sisanya, termasuk aku, sibuk mengambil bekal dari tas
masing-masing, kemudian menggeserkan meja-meja supaya bisa makan sama-sama.
Kami berdelapan sebelumnya sudah berjanji membawa makanan dari rumah, menyadari
bahwa ingin menghabiskan waktu yang tinggal sedikit lagi bersama-sama.
“Weiiitsss...
Lexa bawa nugget dan sosis. Nyomot dong..” seru Dicky antusias, namun tangannya
yang hendak mengambil sosis ditepis langsung dari Melly.
“Elo
emang yak, suka banget nyomot. Noh makan sendiri punya lo. Dasar!” Melly
berseru galak. Aku hanya terkekeh pelan. Mereka semua tau keadaan keluargaku,
dan sangat memahami posisiku di rumah seperti apa.
Makananku
baru habis setengah ketika Dion, salah seorang teman sekelasku, memanggilku
dari pintu kelas. “Lexaaaa.... ada yang nyari.”
“Siapa,
Yon?”
“Nyokap
lo.”
Hanya
sedetik aku termenung di tempat, kemudian aku langsung berlari keluar kelas,
diikuti teman-temanku lainnya. Persis di luar kelas, aku lihat sosok yang
hampir setahun ini kurindukan. Sosok yang selalu kuharapkan muncul di depanku
setiap harinya. Dan kali ini dia benar-benar muncul. Tersenyum. Air matanya
terlihat menggenangi sudut matanya.
“Lexa...”
Dadaku
begitu sesak saat menggumamkan pelan, “Ma...”
***
Mama
dan aku duduk di bangku dekat lapangan basket sekolah. Walaupun matahari agak
terik, tapi ada pohon rindang, sehingga panas matahari tidak langsung ke arah
kami.
Tadi
Mama akhirnya meneteskan air matanya. Tanganku tak henti-hentinya digenggam.
Terlihat bagaimana Mama begitu mencurahkan rasa rindunya kepadaku.
“Bagaimana
keadaanmu, Nak?”
“Baik,
Ma. Mama sendiri gimana?”
“Sehat.
Mama sehat.”
Kemudian
berbagai pertanyaan pun tergelontar cepat dari mulutku, tanpa sedikitpun aku
bisa memberhentikan. Aku senang Mama ternyata pulang. “Mama kapan nyampe? Kok
gak ada berita dari Mama? Mama sakit disana? Atau ada apa gitu jadi Mama gak
bisa nelpon? Mama udah ke rumah kan? Oh iya ya, kunci rumah kan sama Lexa dan
Fay. Mama gak bisa masuk ya? Ya udah kita pulang sekarang aja. Nanti Lexa minta
izin sama guru. Oh iya Papa. Papa udah tau Mama mau pulang, kan? Belakangan
agak galak sih Papa, tapi Lexa rasa nanti..”
Mama
menyelaku. “Ssstt... Lexa.. jangan begitu. Maafkan Mama, Nak..” tanganku dicium
sekilas, semakin erat dipegang.
Aku
menggeleng. “Kok Mama minta maaf? Mama gak salah apa-apa kok. Pasti ada alasan
kenapa Mama baru pulang sekarang. Lexa gak peduli, yang penting Mama pulang.
Yuk, ke rumah, Ma. Lexa pamitan dulu sama guru Lexa.”
Aku
hendak beranjak dari bangku, namun Mama menarik tanganku yang masih
digenggamnya. “Duduk dulu, Lexa. Ada yang Mama harus bicarakan.”
Aku
tidak suka perasaanku sekarang karena mendengar ucapan Mama, serta melihat
ekspresinya yang masih sendu. “Ada apa, Ma? Mama kok kayaknya...” tidak ingin pulang. Bahkan aku tidak mau
melanjutkan perkataan. Aku benci pikiranku sekarang.
Mama
mengusap air mata di pipinya. “Lexa, Mama mau bicara sesuatu. Mama mohon maaf
sama kamu, Lex. Jangan benci Mama ya. Tolong jangan benci Mama. Mama...
Mama...”
Mataku
menyipit. “Langsung aja, Ma.”
Air
mata Mama berjatuhan, tidak mampu lagi ditahannya. “Mama gak bisa pulang, Lex. Mama...
udah bercerai dengan Papamu.”
Aku
menunduk. Aku bingung harus mengatakan apa tentang perasaanku saat ini.
Bagaikan petir di siang bolong? Hatiku bagai tertusuk pisau? Iya, aku kaget.
Tapi aku sangat tidak bisa menggambarkan apa yang kurasakan sekarang.
Mati
rasa. Kosong.
Bahkan
aku tidak bisa menangis, seperti yang sering kulakukan di malam-malam setelah
kepergian Mama.
“Mama
terpaksa harus meninggalkan kamu dan Fay, Nak. Kalian harus tinggal dengan
Papamu.”
Apa
aku mendadak bisu, sehingga tidak bisa merespon, atau setidaknya berteriak?
“Lexa,
lihat Mama, Nak. Lihat Mama, tolong...”
Mama
mendongakan kepalaku. Kulihat matanya yang merah, penuh dengan air mata.
“Dengar, Lexa. Jangan pernah kamu mengira Mama meninggalkan kalian. Mama ingin
sekali membawa kalian bersama, melihat kalian tumbuh, membesarkan kalian. Tapi
keadaan Mama sekarang secara ekonomi tidak bisa, Nak. Kalau Mama memikirkan ego
Mama sendiri, kalian bisa makan apa nanti? Bagaimana cara Mama menyekolahkan
kalian? Mama tidak berani mengambil resiko itu, Lexa. Mama tidak ingin kalian
hancur karena Mama.”
“Tapi,
Mama janji, suatu hari nanti kalian akan tinggal sama Mama. Untuk beberapa
tahun nanti, Mama akan berusaha bekerja semampu yang Mama bisa. Demi kalian.
Jadi, jangan pernah beranggapan Mama meninggalkan kamu dan Fay, ya?”
Aku
mengangguk singkat.
“Mama
tahu sifat Papamu. Dia sangat pendendam. Dia jelas mengatakan Mama tidak bisa
bertemu dengan kalian. Jadi, maaf, Nak. Untuk sementara, kita tidak bisa
bertemu.” Mama membuka tasnya, mengambil pulpen dan secarik kertas, menuliskan
sesuatu, lalu memberikannya kepadaku. “Ini nomor HP Mama. Kapanpun kamu bisa
nelpon Mama. Tapi hati-hati, jangan sampai ketahuan Papamu. Dia bisa marah
besar.”
Aku
menatap kertas tersebut.
“Mama
tidak bisa lama-lama, Nak. Mama akan Medan hari ini juga. Maafkan Mama, Lexa.
Maafkan Mama...”
Mama
memelukku erat dan lama, tapi untuk membalas pelukannya pun aku tidak bisa.
Sepertinya
Mama merasakan keanehanku. Masih memelukku, dia bertanya, “Lexa, kamu tidak mau
ngomong sedikitpun ke Mama, Nak? Kamu benci Mama, Nak, sampai bicarapun tidak
mau?” Mama menangis.
Aku
meresponnya, hanya ingin memberitahu Mama bahwa aku tidak membencinya. “Mama
jaga diri baik-baik, ya?”
Tangis
Mama pecah. Beliu mencium pipiku. “Kamu dan Fay harus jaga diri baik-baik juga.
Sekolah yang benar. Perhatikan Fay baik-baik. Dengar ya, Lexa, kalian harus
jadi orang. Buat Mama bangga.” Mama membelai kepalaku lembut. Kemudian beliau
menyeka air matanya. “Mama pergi sekarang ya, Nak? Jaga diri kalian baik-baik.”
Aku
memberanikan diri melihat Mama pergi, semakin mendekati pintu gerbang
sekolahku. Tiba-tiba kurasakan sesak di dadaku. Semakin jauh jarak pandangku
dari Mama, semakin sesak dadaku.
Dan
kemudian Mama menghilang dari pandanganku.
Aku
berjalan memasuki kelas. Bel masuk baru saja berbunyi sehingga kelas sudah
ramai kembali. Teman-teman terdekatku, yang sejak tadi menantikanku, juga ada
di kelas, dan langsung berdiri mendekatiku.
“Gimana,
Lex?” tanya Dinda, salah satu sahabatku.
“Lo
gak apa-apa kan, Lex?” Dion, sahabatku yang lain, juga bertanya.
Aku
terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan mereka, terus berjalan menuju bangku
paling pojok kanan belakang kelasku. Bangku Dion. Aku duduk, lalu menunduk,
menyandarkan kepalaku ke meja. Dan kemudian, bagai singa terluka parah,
aku
menangis sejadi-jadinya...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar