Senin, 21 Mei 2012

PRESENT - BAB PERTAMA


 
            Masa lalu datang, aku berlari..
            Mereka mengejar, aku semakin cepat berlari
            Entah sampai kapan, yang kutahu hanya,
            Aku harus terus lari, lari, dan lari....

11 tahun yang lalu...
            Aku memeluk erat guling, hanya bisa diam memerangi ketakutanku. Tidak tahu harus melakukan apa sementara, lagi-lagi, kedua orangtuaku bertengkar hebat di ruang tamu. Adikku sudah sejak sejam yang lalu menangis mendengar mereka saling berteriak.
            “Lepas! Saya mau pergi!” Mama berteriak histeris. Terdengar suara pintu dikunci, kemudian suara bantingan kunci ke lantai.
            “Udah gila kau! Mau kemana kau malam-malam, hah? Mau cari laki-laki?” suara Papa terdengar kasar.
            “Haha.. maaf. Memangnya saya seperti anda, yang gak tahan lihat wanita!”
            “Diam kau!!!”
            “Kau yang diam!!!”
            Aku ingin menangis, ingin berteriak. Tapi, seolah-olah mati rasa, aku hanya bisa terdiam. Suara kedua orangtuaku begitu keras, sehingga begitu menakutkan.
            Bukan sekali ini mereka bertengkar parah. Bahkan bisa kukatakan ini hal yang biasa kulihat semenjak aku berumur 5 tahun. Saat itu untuk pertama kalinya aku melihat mereka bertengkar hebat karena Mama melihat Papa berselingkuh dengan istri yang tinggal satu kompleks dengan rumah kami.
            Oh, itu bukan alasan yang dibuat-buat. Karena aku sendiri juga melihatnya.
            Dan sejak itu, aku kehilangan respek ku terhadap Papa.
            Papa meninggalkan kami setelah pertengkaran hebat itu. Aku tidak melihatnya untuk beberapa lama. Sementara Mama, seolah-olah tidak peduli dengan ketiadaan Papa di rumah besar kami, tetap berusaha bekerja keras demi aku dan adikku, yang saat itu masih umur beberapa bulan.
            Lalu semua kejadian terjadi begitu cepat. Tagihan hutang Papa sana-sini semakin menghancurkan keadaan keluarga kami. Imbasnya, Mama terpaksa menjual rumah kami di daerah Bekasi tersebut, kemudian kami pindah ke rumah kontrakan kecil di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur.
            Saat itu aku berumur 8 tahun, dan Papa belum juga kembali.
            Mama, yang telah kehilangan pekerjaannya di sebuah perusahaan elektronik, berusaha mengerjakan apapun yang bisa dikerjakannya demi kami. Berdagangan asongan dan menjadi supir mikrolet di Kampung Melayu. Sementara aku, cukup sadar dengan keadaanku yang jauh berbeda dengan dulu, hanya bisa membantunya menjaga adikku, Fay, yang masih umur 2 tahun. Sebelum Mama pergi kerja dan aku bersekolah, Mama akan menitipkan Fay ke rumah tanteku, kakaknya Papa. Kemudian sepulang sekolah, aku menjemputnya.
            Aku sama sekali tidak menyukai tante-tanteku, baik kakak maupun adik Papa. Kakak-nya Papa beserta keluarganya suka menyuruhku untuk mengerjakan apa yang bisa dikerjakan di rumah besar mereka, membersihkan porselen, tangga, tempat tidur, kamar mandi, apapun. Kalau tidak kulakukan, mereka langsung mencapku sebagai pemalas atau menjelek-jelekkan keluargaku. Bukannya bermaksud malas, tapi sudah sewajarnya aku ingin protes karena mereka punya tiga pembantu, namun tenagaku justru lebih dipakai daripada mereka.
            Bagaimana dengan adiknya Papa? Suatu kali dia datang ke rumah dan kemudian membawa paksa aku serta Fay ke rumahnya di saat Mama kerja. Aku menolak keras, meronta-ronta dari cengkraman  tangannya, berteriak sebisa mungkin. Berusaha mendiamkanku, ia memukul wajah dan tanganku dengan gayung. Gayung itu pecah, sementara tanganku memar dan bibirku berdarah. Alasan yang cukup untuk menjelaskan betapa aku tidak menyukainya.
            Aku tersadar dari lamunanku ketika Mama masuk ke kamar aku dan Fay. Beliau meraihku dan Fay ke pelukannya.
            “Maaf ya, Sayang. Sudah, jangan nangis lagi,” Mama berusaha menenangkan kami, terutama adikku. “Ayo tidur, kalian besok harus sekolah.”
            Aku hanya memejamkan mata tanpa bisa tertidur. Dan akupun yakin Mama juga tidak tidur. Hanya adikku yang tampak terlelap.
            Aku kembali melamunkan peristiwa-peristiwa dulu. Entah bagaimana, kami tidak lagi tinggal di rumah kontrakan, tetapi di rumah Kakak Papa. Sama sekali tidak bagus, bahkan adikku, yang belum mengerti apapun, bereaksi tidak suka. Namun Mama beralasan harus ada yang menjaga kami.
            Suatu hari, adikku terus-menerus menangis memanggil Mama, yang hingga malam belum juga pulang. Aku tidak mampu mendiamkannya. Hingga akhirnya, kakak sepupuku –Elly-, anak ketiga tante, berhasil mendiamkan adikku.
            Dengan mengurung Fay ke kamar mandi. Gelap, karena lampu dimatikan.
            Dan aku, si bodoh ini, hanya bisa diam, tidak tahu harus melakukan apa.
            Awalnya Fay histeris, menggedor-gedorkan pintu, minta dikeluarkan. Lalu kemudian dia terdiam. Cukup lama, hingga akhirnya dia dikeluarkan.
            Wajahnya pucat dengan mata bengkak. Badannya yang lemas memeluk tubuhku. Tubuhnya bergemetar hebat, berusaha menahan segala ketakutan yang dia rasakan.
            Mama pulang agak larut. Aku mengadu kepada beliau tentang kejadian tadi, kemudian  Mama melabrak  Elly, memarahinya hanya sebentar karena menyadari keberadaan dirinya di rumah itu adalah numpang. Mama menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya, kemudian menumpahkannya dengar air mata saat beliau memeluk kami yang tidur (aku berpura-pura sudah tidur), memeluk kami sepanjang malam itu.
            Berbulan-bulan kemudian, Kakekku meninggal dunia karena penyakit jantung yang sudah lama dideritanya. Beliau berpesan tidak mau dikuburkan kalau Papa tidak muncul di pemakaman.
            Dua hari kemudian, Papa muncul. Tidak ada perubahan berarti yang terjadi padanya setelah bertahun-tahun lenyap; tubuhnya tetap segar, besar dan tegap. Dia memelukku dan adik, kemudian mengikuti jalannya acara penguburan.
            Keesokan harinya, terjadi rapat yang membahas tentang keluargaku. Oom ku, abangnya Papa, menyampaikan keinginan terakhir Kakek, yaitu Papa dan Mama bersatu kembali. Setelah beberapa jam rapat tersebut berlangsung, Mama, yang keputusannya lebih ditunggu daripada Papa, akhirnya menyetujui keinginan terakhir Kakek demi alasan aku dan Fay.
            Capek mengenang masa lalu, aku memutuskan untuk tidur. Kulirik sejenak Mama, dan sebelum tertidur aku memikirkan satu hal.
            Menyesalkah Mama dengan keputusannya dahulu?

1 komentar:

  1. Kalau gw punya tante kek gitu... uda dari dulu gw kasih racun tikus...

    BalasHapus