“Sudah
pulang, Nak.”
Aku baru
saja pulang sekolah ketika Mama menyapaku sambil tersenyum lembut. Beberapa
hari ini, sejak pertengkaran yang lalu, keadaan di rumah begitu tenang. Papa
dan Mama pun udah saling berbicara, seolah-olah pertengkaran itu tidak pernah
terjadi. Mungkin benar kata orang kalau di dalam rumah tangga, yang namanya
bertengkar itu biasa. Hanya bumbu-bumbu dalam pernikahan.
Aku
meletakkan tasku di kamar, cepat-cepat berganti pakaian, lalu mencari makan di
dapur.
“Fay
kemana, Ma?” tanyaku ketika melewati kamar Papa dan Mama. Mama terlihat begitu
sibuk mengambil pakaian dari lemarinya.
“Ke
rumah Ririn, main.” Mama menyebutkan nama teman main Fay yang tinggal di
sebelah rumah tanpa sedikitpun menoleh kepadaku.
“Mama
ngapain? Kok bongkar lemari?” tanyaku penasaran, sejenak melupakan niatku untuk
makan. Bad feeling yang kemarin
sempat hilang kini timbul lagi.
“Oh iya.
Mama belum sempat ngomong sama Lexa. Besok Mama harus ke Medan,”
“Mau
ngapain?” tanyaku cepat tanpa menyembunyikan suaraku yang menyiratkan
kecemasan. Aku cemas Mama akan meninggalkan kami.
Mama
sepertinya menangkap kecemasan di suaraku, dan langsung menenangkanku. Beliau
memberhentikan kesibukannya, kemudian menarikku lembut untuk duduk di tempat
tidur. “Ya ampun, Nak. Kok takut begitu? Emangnya Mama mau kemana coba? Kamu
ingat Tante Farida?”
Aku
menggeleng pelan, masih merasa cemas.
“Tante
Farida itu teman dekat Mama waktu SMA di Medan. Dulu waktu kamu masih, berapa
tahun ya? Lupa juga Mama, dia datang ke Jakarta nemuin kita. Tante Farida dulu
suka gendong kamu.” Mama mengusap kepalaku dan memainkan rambutku yang
sepanjang bahu. “Nah, anaknya Tante Farida mau menikah minggu depan. Jadinya
Mama kesana.” Sambungnya lagi.
Mungkin
aku jahat, tapi rasanya aku belum bisa memercayai yang Mama ucapkan. “Beneran
nih?”
“Iya,
Nak. Buat apa Mama bohong.”
“Sampai
kapan?”
“Paling
lama dua minggu. Mama ingin melepas kangen dengan kampung halaman.” Jawab Mama
sambil tersenyum.
“Papa
tau, Ma?”
Mama
terkekeh pelan. “Pasti dong. Sudah lama Papa tau rencana Mama kok. Pokoknya
Lexa jangan mikir yang aneh-aneh, ya? Dan jangan lupa, jaga Fay.” Kemudian Mama
melanjutkan berbenahnya. Beliau berjinjit mengambil koper dari atas lemari,
kemudian memasukkan pakaian-pakaian yang sudah dipilihnya.
Walaupun
Mama sudah menjelaskan alasannya pergi ke Medan, dan bahkan sudah minta izin
kepada Papa, entah kenapa hatiku tetap tidak tenang. Berusaha mengenyahkan
perasaan yang jelek ini, aku meminta tolong sesuatu kepada Mama yang dulu, saat
aku masih TK, sangat tidak suka kalau Mama udah melakukan ini.
“Ma,”
Panggilku ragu. Mama menoleh. “Besok tolong ikat kepang rambut Lexa ya?”
Mama
tersenyum lebar.
***
Sesuai
dengan kesepakatan, Mama akan mengepang rambutku pagi-pagi sekali, sebelum aku
berangkat sekolah. Malamnya Mama tidur di kamarku dan Fay, memeluk Fay yang
mendadak manja karena minta ikut ke Medan bersama Mama. Mama menolak permintaan
Fay karena dia harus sekolah. “Eit, udah kelas 3 SD, gak boleh cengeng lagi.”
Ucap Mama saat Fay mengeluarkan jurus terakhirnya, yaitu menangis, guna
meluluhkan hati Mama. Tapi sayangnya gagal.
Mama
membangunkanku tepat jam 4 pagi. Beliau segera menyuruhku mandi dan melarangku
mengeluarkan suara-suara berisik yang bisa membangunkan Fay.
Mama
sudah duduk di lantai kamar yang beliau alaskan dengan tikar. Aku segera
memakai kaos rumah, lalu duduk persis membelakangi Mama.
Mama
menyisir rambutku lembut. Beliau selalu mengagumi rambutku yang tebal dan
hitam, bersyukur karena sewaktuku kecil rajin sekali merawat rambutku.
“Tumben
minta dikepangi rambutmu, Lex?”
“Gak
tau, Ma. Lagi kepengen ngerubah gaya rambut aja.” Jawabku jujur. Aku yang
tomboy ini sangat tidak peduli dengan gaya rambut dan pakaian. Rambutku dibelah
tengah, padahal tren saat ini rambut berponi. Pakaianku pun, bisa dibilang
seenak jidat. Yang penting make pakaian. Gitu aja kok repot.
Mama
terkekeh pelan. “Masih ingat waktu kamu TK? Mama hobi sekali otak-atik
rambutmu. Dikepang, dikuncir kayak kuping kelinci, dikuncir kuda pakai ikat
rambut yang lucu-lucu. Tapi kamu langsung marah, ngomel-ngomel protes gak suka.
Sampai di sekolah udah dicopot lagi. Beda dengan Fay yang suka sekali Mama
kucir rambutnya. Bibit tomboy-mu itu udah kelihatan dari kecil. Sekarang makin
parah karena kamu gila bola kayak Papamu.”
Aku
tertawa pelan mendengar omongan terakhir Mama. Sampai sekarang Mama masih sulit
menerima kalau anaknya yang tertua ini jauh lebih doyan nonton bola dan
bela-belain begadang daripada jalan-jalan ke mall, dibeliin baju-baju khas
cewek seumuranku.
“Lexa, kamu kan udah kelas 2 SMP. Kamu harus semakin mandiri, ya. Jaga terus Fay, jangan suka dimarahin. Kamu ini galak banget sama adikmu. Kasihan dia, Lex, masih kecil loh.”
“Lexa, kamu kan udah kelas 2 SMP. Kamu harus semakin mandiri, ya. Jaga terus Fay, jangan suka dimarahin. Kamu ini galak banget sama adikmu. Kasihan dia, Lex, masih kecil loh.”
“Kalau
dia gak bisa dibilangin, yah wajar diomelin.” Jawabku defensif, gak mau
mengakui kalau aku galak sama Fay.
“Tapi
yang namanya kakak kan harus ngejagain adiknya. Pokoknya jangan galak-galak
sama Fay. Jaga ya, Nak?”
***
Aku
pergi ke sekolah dengan lesu, mengingat aku tidak bisa mengantar Mama ke
bandara. Penerbangan Mama jam 1 siang, sementara aku dilarang Mama untuk minta
izin pulang cepat dari sekolah.
Tiba di
sekolah, aku disambut dengan komentar positif oleh teman-temanku. Aku memang
bisa dibilang terkenal seantero sekolah karena prestasi akademikku (si juara
kelas bahasa lainnya) dan juga kedekatanku dengan teman-teman tanpa pandang
bulu, bahkan teman-teman cowok yang paling bandel sekalipun.
Sebenarnya
ada satu hal lagi, yang sebenarnya enggan aku sebutkan. Tapi emang kenyataan
loh. Banyak yang bilang (bukan pendapatku) kalau aku memiliki wajah yang manis
dan tubuh yang tinggi. Dan walaupun badanku berisi (kalau tidak mau dibilang
gemuk), itu tidak mengurangi kadar kemanisanku (sekali lagi kutegaskan, bukan
pendapatku). Hal ini bikin banyak yang naksir aku, tapi gak aku tanggepin. Gak
ada di pikiranku aku punya pacar masih SMP begini.
Setibanya
di kelas, aku langsung dikerumuni teman-teman sekelasku yang udah datang.
Kulirik jam tangan bermotif Juventus, klub sepakbola favoritku dari Italia.
Masih jam setengah 7 kurang.
“Hey,
tumben dikepang?” Dicky, cowok terbandel di sekolah yang gak segan-segan godain
cewek tapi gak pernah sekalipun berani menggodaku (dan juga paling dekat
denganku), menarik pelan kepanganku. Aku membalasnya dengan cubitan keras di
lengannya yang langsung disambut dengan, “Aduh!”
“Sukur.
Lagi pengen dikepang aja. Emang gak boleh?” Seruku ketus.
“Boleh.
Kan cuma nanya. Galak bener.”
Teman
sebangkuku, Melly, ikut-ikutan menimpali. “Tapi bener tuh kata Dicky, Lex.
Tumben lo dikepang gitu? Ada momen apaan?”
“Gak ada
apa-apa kok. Beneran. Cuma pengen dikepang aja. Sekalian bikin kerjaan buat
nyokap sebelum cabut ke Medan.” Jawabku sambil terkekeh sejenak.
“Nyokap
lo ngapain ke Medan?” tanya Melly lagi.
“Ada
anak temen Mama nikah.” Jawabku singkat.
Hening
sejenak, kemudian dipecahkan dengan suara Dicky. “Rambut lo tebel juga, ya?
Kepangan lo jadi mirip kalajengking raksasa gitu.” Serunya sambil menarik
kepanganku lagi dan kemudian ngacir. Kutimpuk dia pake sepatuku. Beruntung dia
karena lemparanku meleset, nyaris mengenai kepalanya.
“Kebanyakan
nonton film lo. Emang ada kalajengking raksasa?!!”
***
“Mama
kapan pulang ya, Kak?”
Fay
berdiri di belakangku, bersandar di dinding dekat rak piring. Sedari tadi dia
memang memerhatikanku memasak nasi goreng. Entah benar-benar memerhatikanku
memasak atau justru berkutat dengan lamunannya sendiri. Melamunkan mama.
Kangen
dengan mama.
Sudah
lewat 2 minggu (17 hari tepatnya) Mama pergi ke Medan, dan sejak itu pula tidak
sekalipun kabar darinya datang. Mama tidak pernah menelepon, membuatku agak
panik. Takut sekali terjadi sesuatu dengan Mama disana. Pernah sekali aku
bertanya kepada papa namun beliau hanya menjawab tidak tau dengan ketusnya.
Aku
mematikan kompor, kemudian berbalik ke arah Fay. “Gak tau, Dek. Coba lo tanya
papa.”
Fay
menggeleng, “Gak ahh. Takut.”
“Papa
sama elo mana mau marah. Tanya aja.” Fay tetap menggeleng. Dia mengambil piring
kemudian menuangkan sendiri nasi goreng ke piringnya, kemudian pergi makan di
kamar.
Sekitar
jam tujuh malam, Papa pulang. Dia mengambil segelas air putih, lalu meminumnya.
Kemudian dia pergi ke kamar. Kurasa dia ingin mandi. Beberapa lama kemudian,
Papa keluar kamar, kemudian duduk sambil menonton TV.
Nanya, engga, nanya, engga....
Aku
menarik napas dalam-dalam, meyakinkan diriku sendiri untuk bertanya ke Papa
tentang Mama.
Aku
berjalan mendekati Papa. “Pa,”
Dia
bergumam, tanpa menoleh kepadaku.
“Lexa
boleh nanya ga, Pa?”
Raut
wajahnya langsung berubah. Dia menoleh galak. “Kalau kau mau bertanya tentang
Mama mu, dengar ini baik-baik. Mama mu tidak akan pernah kembali! Dia udah lari
sama laki-laki lain, yang lebih muda dari saya! Ngerti kau?! Jadi jangan pernah
kau tanya-tanya lagi ke saya tentang Mama-mu!”
BRAK..!!
Papa keluar rumah dengan membanting pintu. Aku hanya bisa pergi ke kamar sambil
menahan tangis. Tidak ingin sedikitpun mempercayai perkataannya.
Hari
terasa cepat berganti hari, menyadarkanku satu hal. Papa benar. Bukan mengenai
kepergian Mama dengan pria lain. Aku tidak percaya itu. Tapi Papa memang benar
satu hal,
Mama
tidak akan pulang lagi.
Gw suka bagian dicky narik kepangannya Lexa dan kemudian ngacir... wkwkwkwk
BalasHapus*tega amat bokapnya Lexa... hikss
Penasaran nih kelanjutannya.. Nggak bisa sehari sekali post ceritanya ya dek..?? :)
BalasHapusSengaja mba ren... jadi kalo novelku udah kelar, sementara cerbung-nya gantung, reader yang udah sempet baca kudu beli deh. hihihihi...
HapusWalah bisa #pingsanpenasaran dek :(
BalasHapusNovelnya cepet diterbitin aja deh kalo gitu.. :)